Belerang ( Sulfur )
Belerang atau sulfur adalah
mineral yang dihasilkan oleh proses vulkanisme. Sifat-sifat fisik belerang
adalah :
- Kristal belerang berwarna kuning, kuning kegelapan dan kehitam-hitaman karena pengaruh unsur pengotornya.
- Berat jenis :2,05 – 2,09
- Kekerasan : 1,5 – 2,5 (skala Mohs)
- Ketahanan : getas / mudah hancur (brittle)
- Pecahan : berbentuk konkoidal dan tidak rata
- Gores :berwarna putih.
- Sifat belerang lainnya adalah tidak larut dalam air atau H2SO4
- Titik lebur 129 0C
- Titik didihnya 446 0C.
- Mudah larut dalam CS2, CCl4, minyak bumi, minyak tanah dan aniline, penghantar panas dan listrik yang buruk.
- Apabila dibakar apinya berwarna biru dan menghasilkan gas-gas SO2 yang berbau busuk.
Sifat Kimia
Belerang merupakan unsur
khalkogen. Keelektronegativannya lebih rendah dari keelektronegativan oksigen,
senyawa ini menunjukkan derajat ion yang lebih rendah dan kenaikan
derajat kekovalenan ikatan dan akibatnya derajat ikatan hydrogennya menjadi
lebih kecil. Unsur belerang mempunyai banyak alotrop seperti S2, S3, S6, S7,
S8, S9, S10, S11, S12, S18, dan S… yang menecerminkan kemampuan katenasi atom
belerang. Elektronegativitas atom belerang = 2.58 (skala pauling) dan jari-jari
atomnya = 100 pm.
Sulfur pada Batubara
Sulfur adalah salah satu komponen
dalam batubara, yang terdapat sebagai sulfur organik maupun anorganik. Umumnya
komponen sulfur dalam batubara terdapat sebagai sulfur syngenetik yang erat
hubungannya dengan proses fisika dan kimia selama proses penggambutan (Meyers,
1982) dan dapat juga sebagai sulfur epigenetik yang dapat diamati sebagai pirit
pengisi cleat pada batubara akibat proses presipitasi kimia pada akhir proses
pembatubaraan (Mackowsky,1968).
Sulfur walaupun secara relatif kandungannya rendah, merupakan salah satu elemen penting pada batubara yang mempengaruhi kualitas. Terdapat berbagai cara terbentuknya sulfur dalam batubara, diantaranya adalah berasal dari pengaruh lapisan pengapit yang terendapkan dalam lingkungan laut (Horne et.al,1978), pengaruh air laut selama proses pengendapan tumbuhan, proses mikrobial dan perubahan pH (Casagrandeet.al,1987).
Di lingkungan laut, pH umumnya berkisar antara 4 – 8 (netral – basa) dan cukup rendah, kecuali pada beberapa centimeter dari permukaan. Sulfat berlimpah & umumnya cukup banyak ion Fe yang hadir baik sebagai unsur terlarut dalam air laut atau penguraian dari bahan tumbuhan & mineral. Keadaan ini menyebabkan aktifitas bakteri sangat berperan untuk terbentuknya sulfur. Sedangkan lingkungan pengendapan batubara pada air tawar (lacustrine dan rawa) pH umumnya rendah. Sulfat terlarut juga rendah ( ± < 40 ppm), sehingga sulfur yang terbentuk sedikit karena aktifitas bakteri rendah. Dengan demikian jumlah sulfur yang dihasilkan tergantung pada kondisi pH, Eh, konsentrasi sulfat dan untuk pirit khususnya perlu kehadiran ion Fe dan aktivitas bakteri. Pada lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan laut akan menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi, sedangkan batubara yang terendapkan di lingkungan darat / air tawar umumnya didominasi oleh sulfur organik dengan persentase pirit yang rendah.
Dari hasil penelitian mengenai pembentukan dan keberadaan sulfur pada batubara dan gambut, Casagrande (1987) membuat beberapa kesimpulan, yaitu :
a. Secara umum batubara bersulfur rendah (<1%) mengandung lebih banyak sulfur organik daripada piritik. Sebaliknya batubara dengan kandungan sulfur tinggi mengandung lebih banyak sulfur piritik daripada organik.
b. Batubara bersulfur tinggi biasanya berasosiasi dengan batuan penutup yang berasal dari lingkungan laut.
c. Kandungan sulfur pada batubara umumnya paling tinggi pada bagian roof dan pada bagian floor lapisan batubara.
Proses paling penting dalam pembentukan unsur dan senyawa sulfur adalah reaksi reduksi sulfat oleh aktivitas bakteri. Berikut adalah skema yang menunjukkan urutan proses pembentukan sulfur dalam batubara :
Gambar III.3 Skema pembentukan sulfur dalam batubara (modifikasi dari Suits & Arthur, 2000)
Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah biasanya terendapkan pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup dan lapisan dibawahnya berupa sedimen klastik yang terendapkan pada lingkungan darat juga. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang tinggi, berasosiasi dengan sedimen yang terendapkan pada lingkungan payau atau laut (Cecilet.al,1979).
Sulfur walaupun secara relatif kandungannya rendah, merupakan salah satu elemen penting pada batubara yang mempengaruhi kualitas. Terdapat berbagai cara terbentuknya sulfur dalam batubara, diantaranya adalah berasal dari pengaruh lapisan pengapit yang terendapkan dalam lingkungan laut (Horne et.al,1978), pengaruh air laut selama proses pengendapan tumbuhan, proses mikrobial dan perubahan pH (Casagrandeet.al,1987).
Di lingkungan laut, pH umumnya berkisar antara 4 – 8 (netral – basa) dan cukup rendah, kecuali pada beberapa centimeter dari permukaan. Sulfat berlimpah & umumnya cukup banyak ion Fe yang hadir baik sebagai unsur terlarut dalam air laut atau penguraian dari bahan tumbuhan & mineral. Keadaan ini menyebabkan aktifitas bakteri sangat berperan untuk terbentuknya sulfur. Sedangkan lingkungan pengendapan batubara pada air tawar (lacustrine dan rawa) pH umumnya rendah. Sulfat terlarut juga rendah ( ± < 40 ppm), sehingga sulfur yang terbentuk sedikit karena aktifitas bakteri rendah. Dengan demikian jumlah sulfur yang dihasilkan tergantung pada kondisi pH, Eh, konsentrasi sulfat dan untuk pirit khususnya perlu kehadiran ion Fe dan aktivitas bakteri. Pada lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan laut akan menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi, sedangkan batubara yang terendapkan di lingkungan darat / air tawar umumnya didominasi oleh sulfur organik dengan persentase pirit yang rendah.
Dari hasil penelitian mengenai pembentukan dan keberadaan sulfur pada batubara dan gambut, Casagrande (1987) membuat beberapa kesimpulan, yaitu :
a. Secara umum batubara bersulfur rendah (<1%) mengandung lebih banyak sulfur organik daripada piritik. Sebaliknya batubara dengan kandungan sulfur tinggi mengandung lebih banyak sulfur piritik daripada organik.
b. Batubara bersulfur tinggi biasanya berasosiasi dengan batuan penutup yang berasal dari lingkungan laut.
c. Kandungan sulfur pada batubara umumnya paling tinggi pada bagian roof dan pada bagian floor lapisan batubara.
Proses paling penting dalam pembentukan unsur dan senyawa sulfur adalah reaksi reduksi sulfat oleh aktivitas bakteri. Berikut adalah skema yang menunjukkan urutan proses pembentukan sulfur dalam batubara :
Gambar III.3 Skema pembentukan sulfur dalam batubara (modifikasi dari Suits & Arthur, 2000)
Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah biasanya terendapkan pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup dan lapisan dibawahnya berupa sedimen klastik yang terendapkan pada lingkungan darat juga. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang tinggi, berasosiasi dengan sedimen yang terendapkan pada lingkungan payau atau laut (Cecilet.al,1979).
1.Sulfur Piritik
Pirit (dan Markasit) merupakan mineral sulfida yang paling umum dijumpai pada batubara. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2) tetapi berbeda pada sistem kristalnya. Pirit berbentuk isometrik sedangkan Markasit berbentuk orthorombik (Taylor G.H, et.al., 1998).
Pirit (FeS2) merupakan mineral yang memberikan kontribusi besar terhadap kandungan sulfur dalam batubara, atau lebih dikenal dengan sulfur piritik (Mackowsky, 1943 dalam Organic petrology, 1998). Berdasarkan genesanya, pirit pada batubara dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Pirit Syngenetik, yaitu pirit yang terbentuk selama proses penggambutan (peatification). Pirit jenis ini biasanya berbentuk framboidal dengan butiran sangat halus dan tersebar dalam material pembentuk batubara (Demchuk, 1992 dalam international journal of coal geology, 1992).
2. Pirit Epigenetik, yaitu pirit yang terbentuk setelah proses pembatubaraan. Pirit jenis ini biasanya terendapkan dalam kekar, rekahan dan cleat pada batubara serta biasanya bersifat masif. (Mackowsky, 1968; Gluskoter, 1977; Frankie and Howe, 1987 dalam international journal of coal geology, 1992). Umumnya pirit jenis ini dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara.
Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh organisme dan air tanah yang mengandung ion besi. Bentuk pirit hasil reduksi ini biasanya framboidal dengan sumber sulfur yang tereduksi kemungkinan terdapat dalam material yang terendapkan bersama batubara. Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan frekuensi cleat / rekahan karena kation-kation yang terlarut (dalam hal ini ion Fe) akan terbawa ke dalam batubara oleh aliran air tanah melalui cleat tersebut dan selanjutnya bereaksi dengan sulfur yang telah tereduksi untuk kemudian membentuk pirit (Demchuk T.D, dalam International Journal of Coal Geology, 1992).
Pembentukan pirit epigenetik sangat dipengaruhi oleh keterdapatan sulfur primer yang telah tereduksi, ion besi dan tempat yang cocok bagi pembentukannya (Casagrande et.al,1987). Persamaan umum pembentukan pada pirit (Leventhal, 1983 and Berner, 1984 dalam Organic Petrology, 1998) adalah :
SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2CHO3 - + H2S
3H2S + 2FeO.OH - - - - - 2FeS + S + 4H2O
FeS + S0 - - - - - FeS2
Sulfat di atas umumnya berasal dari sedimen laut dangkal yang selanjutnya akan direduksi oleh senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida dengan reaksi sebagai berikut :
SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2HCO3 + H2S
Hidrogen sulfida yang terbentuk selanjutnya dioksidasi oleh goethite (FeO.OH), atau hidrogen sulfida yang terbentuk dapat mereduksi ferric iron (FeIII) menjadi ferrous iron (FeII). Oksigen seringkali mampu menembus sedimen anaerob dan mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi unsur sulfur (S0). Proses oksidasi sulfur ini dapat juga berlangsung dengan media ferric iron (FeIII).
Berikut persamaan reaksinya :
3H2S +2 FeO.OH - - - - - 2 FeS + S + 4H2O
FeS + S0 - - - - - FeS2
Selain membentuk pirit, unsur sulfur tersebut dapat juga bereaksi dengan sulfida membentuk polisulfida (SSn), yang selanjutnya mungkin akan diperlukan untuk proses pembentukan pirit. Larutan polisulfida ini dapat bereaksi dengan FeS atau Fe3S4 untuk membentuk pirit. Proses terbentuknya sulfur piritik ini sangat dipengaruhi oleh kondisi pH, yaitu semakin tinggi harga pH maka akan mempercepat reaksi karena dalam suasana basa akan banyak ion besi yang terlepaskan. Disamping itu unsur sulfur atau polisulfida juga bisa bereaksi dengan komponen organik batubara membentuk senyawa sulfur organik.
Pirit framboidal berasosiasi dengan batuan penutup yang terendapkan pada lingkungan laut sampai payau. Gambut yang mengandung sulfur tinggi (dalam bentuk pirit framboidal) terbentuk pada lingkungan pengendapan yang dipengaruhi oleh transgresi air laut atau payau, kecuali apabila terdapat dalam batuan sedimen yang cukup tebal dan terendapkan sebelum fase transgresi (Cohen A.D dalam Organic Petrology, Taylor G.H, 1998).
2. Sulfur Organik
Sulfur organik merupakan suatu elemen pada struktur makromolekul dalam batubara yang kehadirannya secara parsial dikondisikan oleh kandungan dari elemen yang berasal dari material tumbuhan asal. Dalam kondisi geokimia dan mikrobiologis spesifik, sulfur inorganik dapat terubah menjadi sulfur organik. (Wiser W.H, 2000).
Secara umum sebagian besar sulfur dalam batubara berupa sulfur syngenetik yang keterdapatan dan distribusinya dikontrol oleh kondisi fisika dan kimia selama proses pembentukan gambut. Sulfur organik dalam batubara dapat berasal dari material kayu dan pepohonan. Disamping itu sebagian sulfur juga mungkin terjadi dari sisa-sisa organisme yang hidup selama perkembangan gambut.
Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik oleh proses penghancuran biokimia dan oksidasi. Namun secara umum, penghancuran biokimia merupakan proses yang paling penting dalam pembentukan sulfur organik, yang pembentukannya berjalan lebih lambat pada lingkungan yang basah atau jenuh air (A.C. Cook, 1982).
Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga mendominasi dalam menentukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya melimpah dalam lingkungan marin atau payau kemungkinan besar akan terubah membentuk hidrogen sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses geokimia. Reaksi yang terjadi adalah reduksi sulfat oleh material organik menjadi hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri desulfovibrio dan desulfotomaculum (Trudinger et.al, dalam Meyers, 1982).
Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan unsur atau molekul organik dari gambut menjadi sulfur organik. Unsur sulfur (S0) kemungkinan muncul dari proses oksidasi hidrogen sulfida yang terkena kontak dengan oksigen terlarut dalam kisi – kisi air, di samping itu S0 juga bisa muncul karena adanya aktivitas bakteri. Unsur sulfur (S0) dapat bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan (Meyers,1982).
Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H2S juga dapat bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. Jenis interaksi antara H2S dengan asam humik inilah yang mempunyai peranan paling penting dalam menentukan kandungan sulfur organik dalam batubara (Meyers, 1982). Disamping itu kandungan sulfur organik yang tinggi hanya akan berasosiasi dengan lingkungan rawa gambut yang minim suplai Fe (Gransh & Postuma, 1974 ; Bein et.al, 1990 ; Zaback & Pratt dalam Suits and Arthur, 2000).
3. Sulfur Sulfat
Sulfat dalam batubara umumnya ditemui dalam bentuk sulfat besi, kalsium dan barium. Kandungan sulfat tersebut biasanya rendah sekali atau tidak ada kecuali jika batubara telah terlapukkan dan beberapa mineral pirit teroksidasi akan menjadi sulfat. (Meyers, 1982 and Kasrai et.al, 1996).
Sulfur sulfat juga dapat berasal dari reaksi garam laut atau air payau yang mengisi lapisan dasar yang jaraknya tidak jauh dan berada di atas atau di bawah lapisan batubara. Pada umumnya kandungan sulfur organik lebih tinggi pada bagian bawah lapisan, sedangkan kandungan sulfur piritik dan sulfat akan tinggi pada bagian atas dan bagian bawah lapisan batubara.
Pengaruh Sulfur
Di dalam dunia industri,
pemanfaatan pokok batubara adalah untuk pembangkit listrik dan pabrik baja,
keduanya menuntut batubara berkandungan sulfur rendah. Pada kontrak jual-beli
batubara (pemasaran) kandungan sulfur merupakan salah satu persyaratan pokok
dan mempengaruhi harga.
Batubara bersulfur tinggi juga
menimbulkan masalah teknis dan lingkungan. Pada proses pembakaran (power
plant), sulfur dikonversi ke oksida dan dapat menimbulkan pengkaratan atau
korosi kuat pada peralatan atau komponen logam. Batubara bersulfur tinggi dapat
menimbulkan masalah lingkungan, baik di lokasi tambang, sepanjang jalur
pengangkutan batubara, penumpukan, hingga di lokasi pemanfaatan. Pada
lokasi-lokasi tersebut, selain menimbulkan polusi udara, juga dapat
menghasilkan aliran air bersifat asam, sedangkan pembakaran batubara dapat
menghasilkan gas SOx yang mengganggu atmosfer.
Disisi lain, kenyataan di
lapangan sebaran kandungan sulfur pada lapisan batubara dapat sangat bervariasu
dan berubah-ubah nilainya, baik secara vertical maupun lateral, bahkan
pada jarak yang dekat sekalipun. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh
proses-proses geologi yang berlangsung bersamaan maupun setelah pembentukan
lapisan batubara. Oleh karena itu, data kandungan sulfur pada batubara
merupakan hal yang penting untuk diketahui secara lebih baik karena berkaitan
dengan aspek pemanfaatan, lingkungan pemasaran, perencana, dan operasi
penambangan, serta aspek geologi.
Energi batubara merupakan jenis energi yang sarat dengan masalah
lingkungan, terutama kandungan sulfur sebagai polutan utama. Sulfur batubara
juga dapat menyebabkan kenaikan suhu global serta gangguan pernafasan. Oksida
belerang merupakan hasil pembakaran batubara juga menyebabkan perubahan aroma
masakan / minuman yang dimasak atau dibakar dengan batubara (briket), sehingga
menyebabkan menurunnya kualitas makanan atau minuman, serta berbahaya bagi
kesehatan (pernafasan). Cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut adalah
dengan mewujudkan gagasan clean coal combustion melalui desulfurisasi
batubara.
Pengambilan Sampel (Sampling)
Tujuan utama dari pengambilan
sampel ialah untuk mengambil sebagian kecil material yang akan mewakili
sifat-sifat keseluruhan material tersebut. Syarat utama adalah sampel itu harus
mewakili (respresentatif) bahan yang di sampling.
Pengambilan sampel batubara harus
dilakukan menurut standar yang telah ditentukan. Karena banyaknya standar batu
bara yang ada, pemilihan akan bergantung pada persetujuan antara pembeli dan
penjual.
Pengambilan Sampel Batubara Eksplorasi
Menurut keadaan batubara, yakni
batubara yang masih ada di dalam perut bumi batubara yang telah ditambang, dan
batubara yang telah ditumpuk berupa stockpile, maka cara-cara
pengambilan sampel dapat dibagi menjadi pengambilan sampel batubara eksplorasi
dan pengembangan, serta pengambilan sampel batubara produksi.
Dari sekian banyak cara
pengambilan sampel batubara eksplorasi , hanya dua cara yang akan dibahas yaitu
pengambilan sampel inti bor (core sampling) dan channel sampling.
a) Pengambilan sample inti bor.
Ketika dilakukan eksplorasi, pengambilan sampel inti bor dari lapisan
batubara dilakukan dengan cara pengeboran. Batubara dengan rank rendah
mudah sekali teroksidasi, bahkan batubara bitumen yang mengandung volatile
matter rendah dapat terpengaruh apabila dibiarkan terbuka dalam kotak sampel. Pengambilan sampel ini dibagi-bagi berdasarkan ply-by-ply dan berdasarkan
probable working section.
b) Channel sampling
Jumlah channel sampel relative banyak, mewakili keseluruhan lapisan
batubara pada titik lokasi dimana sampel diambil. Channel sampel dapat diambil baik secara manual maupun mekanis menggunakan
peralatan penambangan. Suatu channel sampel diambil dengan mengerat channel
vertical dari cross-section mulai dari atas ke bawah setinggi lapisan, yakni
dari roof sampai floor.
Pengambilan Sampel Batubara Produksi
Tahapan
pengambilan sampel batubara produksi terbagi menjadi dua, yakni:
(1) Skema pengambilan
sampel yang merujuk pada berapa banyak satu lot dapat dibagi menjadi sampling unit
dan berapa banyak increment harus diambil untuk setiap sampling unitnya
sehingga dicapai presisi yang diinginkan.
(2) Sistem
pengambilan sampel merupakan implementasi dari pengambilan sampel, apakah akan
dilakukan secara manual atau mekanis.
Jumlah atau banyaknya increment
yang diambil dari satu lot agar dicapai suatu presisi tertentu merupakan fungsi
dari bervariasinya kualitas batubara didalam lot tersebut, tanpa memandang dari
berat lot. Lot-lot harus dibagi menjadi beberapa sampling unit dengan jumlah
yang memadai.
Banyaknya increment yang harus
diambil dan cara-cara menggabungkan increment sehingga terbentuk sampel atau
subsampel, akan ditentukan oleh presisi yang diperlukan untuk menetapkan
karateristik kualitas dari lot dan oleh bevariasinya batubara yang akan diuji.
Sebelum kita menetapkan besarnya presisi, perlu dilakukan perundingan antara
pihak-pihak terkait terlebih dulu (pembeli, penjual, dan cargo superintendent
company).
Presisi yang dianjurkan oleh
standar ASTM adalah ± 1/10 kali kandungan ash (kering) untuk general purpose
sampling batubara yang telah diketahui ukuran butirannya (partikel) dan keadaan
preparasinya (masih kasar atau telah dicuci). Untuk batubara kasar berukuran
top size 50 mm, jumlah minimal increment untuk lot 1000 ton adalah 35,
sedangkan untuk batubara yang telah mengalami pencucian jumlah itu lebih kecil
lagi, yakni 15.
Untuk lot yang lebih besar dari
1000 ton dan hanya diperlukan satu gross sample digunakan rumus:
Dimana: N1 = jumlah increment
N2 = jumlah increment yang diperlukan
Dalam standar ASTM D 2234 (dan
dalam BS 1017) dinyatakan bahwa berat maksimal lot yang dapat menggunakan rumus
diatas adalah 10000 ton.
Jadi, untuk batubara kasar dengan lot sebesar 4000 ton dapat dilakukan dua
cara:
1)
Dibagi menjadi 4 sampling unit dengan jumlah increment 4 x 35 atau 140 dan akan
menghasilkan 4 buah gross sampel yang kemudian dibuat satu composite sampel.
2)
Bila hanya diperlukan satu gross sampel dengan menggunakan rumus diatas akan
menghasilkan 70 increment. Jumlah increment untuk karateristik sampel yang akan
ditentukan oleh besarnya presisi yang diinginkan.
Untuk lot 24000 ton dapat dibagi
menjadi 3 sampling unit, masing-masing dua sampling unit 10000 ton dan satu
sampling unit 4000 ton, atau menjadi tiga sampling unit masing-masing 8000 ton
dan seterusnya.
Table.2.2 Jumlah dan berat increment dalam prosedur general purpose sampling
untuk cargo 1000 ton ke bawah.
Top size
|
16 mm
|
50 mm
|
150 mm
|
Batubara yang telah bersih
|
|||
Jumlah minimal increment
|
15
|
15
|
15
|
Berat minimal satu increment
|
1 kg
|
3 kg
|
7 kg
|
Batubara yang masih kasar
|
|||
Jumlah minimal increment
|
35
|
35
|
35
|
Berat minimal satu increment
|
1 kg
|
3 kg
|
7
kg
|
( Muchjidin, Pengendalian Mutu Dalam Industri
Batubara, 2006)
Pengambilan Sampel Batubara Stockpile
Dari pengambilan sampel
batubara suatu stockpile, umumnya sangat sulit diperoleh sampel yang
representative, dan tiap pengambilan sampel harus dikerjakan sesuai dengan
kondisinya masing-masing. Suatu sampel yang diambil hanya dari bagian atas atau
sisi stockpile saja tidak dapat dipandang sebagai wakil dari seluruh stockpile
, terutama untuk stockpile yang terdiri atas beberapa sumber
batubara.
Menurut standar ASTM penuntun
pengambilan gross sampel dari permukaan batubara terbuka dari stockpile,
kemudian sampel-sampel ini diporoses dan dikirimkan ke laboratorium untuk
dianalisis. Prosedur pengerjaannya adalah sebagai berikut:
- Ukuran lot. Pembagian lot dari stockpile yang akan diambil sampelnya harus ditentukan dan disetujui oleh semua badan terkait.
- Increment. Berat satu increment akan bergantung pada ukuran partikel. Untuk batubara berukuran top size 15 mm minimal beratnya 1 kg, 50 mm berat minimal 3 kg, dan berukuran top size 150 mm berat minimal 7 kg. banyaknya increment untuk lot dibawah 1000 ton adalah 35 increment dan untuk lot lebih dari 1000 ton menggunakan perumusan 35.
- Pengumpulan increment. Increment diambil dari suatu lubang pada permukaan stockpile sedalam 46 cm. Batubara yang telah diambil dari lubang harus ditempatkan jauh dari daerah pengambilan sampel. Kemudian increment diambil dari bagian bawah lubang dan dimasukkan ke dalam container (misalnya ke dalam kantong plastic, disegel, diberi nomor, dan dimasukkan ke dalam drum). Pola tempat pengambilan increment akan bergantung pada tinggi dan kemiringan stockpile. Atur jarak pengambilan increment ini pada permukaan stockpile, sehingga tiap increment mewakili daerah dengan ukuran yang sama.
Preparasi Sampel
Proses preparasi sampel terdiri
atas empat tahapan kerja antara lain :
1. Pengeringan, jika
sampel masih basah dan susah untuk di gerus.
2. Memperkecil ukuran
partikel, dengan cara milling (crushing dan grinding) yang disebut
sebagai reduction.
3. Mencampurkan (mixing)
agar sampel menjadi homogen.
4. Mengurangi berat
sampel dengan cara membaginya menjadi dua bagian atau lebih yang disebut divison.
Tabel 2.3. Berat sampel
analitik yang diperlukan untuk parameter tertentu
Parameter
|
Top size (mm)
|
Berat sample duplikat
|
|
ASTM
|
ISO
|
||
Free Moisture
Residual Moistuer
Hardgrove Grind. Index
General Analysis
Moisture (adb)
Ash Content
Volatile Matter
Total Sulfur
Calorivic Value
Suhu Leleh Ash
Analisis Ash
Fosfor
Arsen
Flour
Klor
|
50
3
4.75
0,25/0,2 *)
|
10 kg
20 kg
1 kg
2 g
2 g
2 g
2 g
2 g
4 g
20 g **)
2 g
2 g
2 g
1 g
|
10 kg
20 kg
1 kg
2 g
2 g
2 g
2 g
2 g
4 g
20 g **)
2 g
2 g
2 g
1 g
|
( Muchjidin, Pengendalian Mutu Dalam Industri
Batubara, 2006)
*) -250 µm (0,25 mm) untuk standar ASTM dan -200 µm (0,20 mm) untuk standar
ISO
**) untuk batubara dengan ash content 10 %
Table 2.4. Berat dan ukuran butir untuk
penetuan khusus (diambil dari Standar Australia AS 4264.1-1995)
Uji
|
Standar referensi
|
Massa yang dibutuhkan
|
Ukuran partikel
|
Analisis ayak
|
AS 3881
|
Massa yang dibutuhkan
ditentukan oleh nominal top size
|
Sebelum pengujian tidak ada
pengecilan ukuran
|
Float-and –sink testing
|
AS 4156.1
|
Massa yang dibutuhkan
ditentukan oleh nominal top size
|
Sebelum pengujian tidak ada
pengecilan ukuran
|
Indeks abrasi
|
AS 1038.19
|
10 kg
|
Melewati 16,0 mm
|
Indeks Hardgrove
|
AS 1038.20
|
1 kg
|
Nominal top size 4,0 mm
|
Uji Gleserer plastometer
|
AS 2137
|
1 kg
|
Melewati 4,0 mm
|
Total Moisture
Metode A
Metode B
|
AS 1038.1
|
300 g
|
Nominal top size 4,0 mm
|
Total Moisture
Metode C
|
AS 1038.1
|
4 kg
|
Nominal top size 11,2
|
Uji pilot coke oven
|
AS 2267
|
Ditentukan oleh ukuran pilot
coke oven
|
Direferensikan untuk tes
laboratorium
|
Analisis petrografik
|
AS 2061
|
200 g
|
Nominal top size 1,0
|
Dilatometer
|
AS 1038.12.3
|
1 kg
|
Top size 4,0 mm
|
( Muchjidin, Pengendalian Mutu Dalam Industri
Batubara, 2006)
1) Pengeringan Udara
Pengeringan udara atau air
driying kadang-kadang diperlukan dalam tahapan kerja preparasi sampel. Faktor
yang menentukan diperlukan atau tidaknya pengeringan udara adalah apakah
batubara akan melalui peralatan pembagi sampel atau melalui penggerus. Jika
sampel langsung akan dibagi melalui peralatan pembagi, maka sampel tersebut
tidak perlu dikeringkan dulu.
Pengeringan sampai berat yang
konstan serta suhu yang terus ditinggikan itu tidak perlu untuk General
Analysis, karena hal ini dapat berakibat terjadinya oksidasi pada batubara
rank rendah. Pengeringan dapat dilakukan di dalam oven atau Drying Set suhu
10°C di atas suhu kamar. Aturan
pengeringan dalam standard ISO, ASTM, British Standard, dan AS.
Tabel. 2.5 Lamanya waktu pengeringan menurut ASTM, ISO, BS, dan AS
Suhu °C
|
Waktu pengeringan
|
|||
ISO1988
|
ASTM D2013
|
BS 1017; part 1
|
AS 2646.6
|
|
15° diatas suhu ruangan tapi
tidak > 25°C
|
Lebih baik tidak > 24 jam
|
24 jam
|
||
25°C
|
||||
30°C
|
6 jam
|
6 jam
|
≤ 24 jam
|
|
40°C
|
≤ 6 jam
|
|||
45°C
|
3 jam
|
3 jam
|
≤ 3 jam
|
|
105°C
(hanya untuk high rank
coal)
|
1 Jam
|
|||
10°C- 15°C diatas suhu ruangan,
tapi tidak > 40°C, kecuali suhu ruangan > 40°C
|
Sampai konstant
|
( Muchjidin, Pengendalian Mutu Dalam Industri
Batubara, 2006)
2) Memperkecil ukuran butir
Dalam ISO R-1213 diberikan
definisi beberapa cara memperkecil ukuran partikel ini:
1. to
mill ; memparkecil ukuran partikel dengan cara crushing, grinding, atau
pulverizing.
2. to
crush (meremukkan) ; memperkecil ukuran partikel sampel sampai ukuran
partikel kasar (>3 mm).
3. to
grind, to pulverized (menggerus, melumatkan) ; memperkecil ukuran partikel
sampel sampai ukuran partikel halus (<1.5 mm).
Beberapa aturan dalam cara memperkecil
ukuran partikel antara lain:
1)
Permukaan harus dilakukan secara mekanis
2)
Tidak diperbolehkan mengayak material yang tertahan ayakan (oversize). Misalnya
jika akan meremukkan material sampai melalui 10 mm maka tidak boleh hanya mengayak
yang -10mm-nya saja dan kemudian hanya meremukkan material +10 mm-nya saja.
Alasannya, karena antara batubara halus dan kasar ada perbedaan sifat
petrografi, fisika, dan kimia, serta dalam langkah pencampuran yang perlu
menghomogenkan kembali sampel akan sukar untuk dilakukan.
3)
Semua penggerus dalam preparasi sampel tidak boleh menghasilkan material yang
tertahan ayakan lebih dari 1%. Penggerus-penggerus itu, termasuk Raymond mill,
harus dicek secara teratur pada waktu-waktu tertentu untuk meyakinkan bahwa 99%
hasil gerusan melalui ayakan.
4)
Semua penggerus harus selalu bersih. Misalnya pada pemakaian hammer mill yang
selalu menahan batubara setelah penggerusan, sehingga pada penggerusan
selanjutnya dapat mengotori sampel yang akan digerus.
5)
Memperkecil ukuran dengan tangan tidak diperbolehkan, kecuali untuk batu bara
lempengan.
Peralatan untuk memperkecil
ukuran dalam standar ISO harus yang bekerja secara mekanis, mesin demikian
disebut mill. Yang lebih disukai adalah high speed mill.
Peralatan tersebut bermacam-macam
jenisnya, mulai dari jaw crusher sampai roll crusher dan dari mill
sampai high speed impact pulveriser yang khusus diperuntukkan
menggerus sampel sampai berukuran -0,2 mm.
3) Pencampuran
Persyaratan peralatan pencampur adalah
tidak diperbolehkan 1) memecahkan batu bara, 2) menghasilkan debu, 3)
membiarkan moisture menguap.
4) Pembagian sampel
Bila preparasi sampel dimulai
dengan memperkecil ukuran menjadi ukuran pertengahan dan pada langkah kedua
diperkecil lagi menjadi ukuran akhir, yakni -200µm, maka cara ini disebut two-stage
preparation. Ukuran pertengahan umumnya 10 mm atau 3 mm. Setiap pembagian
dalam two-stage preparation harus mempunyai berat minimal:
10 mm = 10 kg
3 mm = 2 kg
1 mm = 0,6 kg
Apabila ukuran asal dari batubara
adalah 120 mm atau lebih besar lagi, maka cara preparasinya adalah theree-stage
preparation yang mempunyai dua ukuran pertengahan. Dalam cara ini berat
minimal untuk pembagian tersebut adalah:
10 mm = 15 kg
3 mm = 3 kg
1 mm = 1 kg
Peralatan Preparasi Sampel
a) Pengering
Untuk mengeringkan sampel batu
bara dapat dipakai lantai pengering-udara (air-drying floor) atau oven
pengering (air-drying oven).
·
Lantai
pengering-udara. Suatu lantai yang rata dan halus
serta bersih yang terletak di dalam ruangan bebas kontaminasi debu atau
material lainnya. Ruangan tersebut mempunyai sirkulasi udara yang baik tanpa
panas yang berlebihan atau aliran udara yang berlebihan. Kondisi lantai
pengeringan-udara sedapat mungkin harus mendekati kondisi yang disyaratkan
untuk oven pengering-udara.
·
Oven pengering
udara. Suatu alat yang digunakan untuk
mengalirkan udara yang yang sedikit panas pada sampel. Oven harus dapat menjaga
suhunya antara 10ºC-15ºC di atas suhu kamar. Suhu maksimal oven adalah 40 ºC.
Untuk batubara yang mudah sekali teroksidasi, suhu oven tidak boleh melebihi
10ºC diatas suhu kamar.
b) Penggerus
Beberapa jenis alat penggerus
antara lain adalah :
·
Crusher. Ada dua jenis crusher yaitu; hummer mill yang fungsinya untuk
memecahkan sampel secara pukulan atau benturan, jaw crusher yang
fungsinya untuk memecahkan sampel secara menekan, contohnya roll crusher dan
jaw crusher.
·
Hummer mill. Memiliki keuntungan :reduction ratio tinggi, dapat memperkecil
batubara lempengan (150 mm) dan mempunyai hasil penggerusan tinggi, harganya
murah, serta tidak terlalu makan banyak ruang. Kerugiannya adalah mempunyai
angin yang deras sehingga dapat berpengaruh terhadap sampel Moisture,
menghasilkan fines yang banyak dan tidak dapat dipakai pada batubara
basah.
·
Double Roll
Crusher. Keuntungan dari double roll
crusher antara lain tidak menimbulkan panas dan angin, tidak menghasilkan
fines yang berlebihan dan mudah menangani batubara basah.
·
Jaw Crusher. Alat ini cocok untuk meremukkan batubara keras dan kering. Untuk
memperoleh hasil yang halus susah sekali. Kerugian utamanya adalah kapasitas
rendah (kecuali lempengannya besar) dan tidak dapat mengerjakan batubara basah.
c)
Pencampur
Ada beberapa jenis alat yang
memadaiyaitu paddle mixer, drum mixer, dan double cone mixer
(untuk batubara berukuran 1.0-0.2 mm).
Yang dioperasikan secara manual adalah riffle.
d)
Pembagi
Pembagian sampel dapat dilakukan
baik secara manual maupun mekanis. Jika pembagian akan dilakukan secara manual
tetapi tidak menggunakan riffle, dapat dilakukan dengan cara yang disebut
sebagai cara coning and quartering. Prinsipnya ialah batu bara dibentuk
seperti gunung (timbunan mirip kerucut pendek), ditekan sampai rata dan
kemudian dibagi menjadi 4 bagian yang sama. Dua bagian yang berlawanan disatukan
untuk kemudian dibagi empat lagi, begitu seterusnya sampai diperoleh berat yang
diinginkan. Dua bagian lainnya dibuang.
Umumnya cara ini dipakai untuk
membagi sampel apabila tidak tersedia riffle di lapangan.
·
Riffle digunakan untuk membagi sampel menjadi dua bagian sama banyak, kemudian
membagi setengahnya lagi dan demikian seterusnya hingga diperoleh berat yang
diinginkan (sama dengan cara kerja coning and quartering).
o
Peralatan
pembagi sampel yang bekerja secara mekanis antara lain rotary sampledivider
(RSD) dan slotted belt. Keuntungan alat pembagi sampel mekanis ialah reduction
ratio dapat divariasikan, dan tidak perlu membagi sampel sampai setengahnya
secara berurutan. Setelah dibagi, sampel dapat diperoleh dengan mengambil
increment kecil yang banyak (diperlukan minimal 50 increment). Jadi, menghindarkan tahap pencampuran.
·
Rotary Sample
Divider. Alat ini terdiri atas sejumlah
continer misalnya 12 atau 8 yang dibentuk seperti segmen-segmen pada pelat
berputar sekitar 60 rpm. Ukuran minimal
lubang pintu harus tiga kali ukuran terbesar partikel batubara. Jadi, sejumlah
increment akan terpisah pada setiap putarannya, terbagi merata ke settiap
kontainer. Jika ada 8 segmen, satu kontainer akan mengandung fraksi seperdelapan
dari jumlah batu bara yang masuk ke RSD, sehingga kita dapat mengambil fraksi
1/8, ¼ atau ½.
·
Slotted belt. Suatu belt conveyor yang
tidak berakhir mempunyai slot dengan ruang pitch-nya diperalati oleh alat
berbentuk bibir yang bertindak sebagai pagar pemotong.
Analisa Sulfur
Dalam analisis ultimat
ditentukan total sulfur (TS) yang mewakili semua bentuk sulfur dalam
batubara. Penentuan masing-masing bentuk
sulfur atau forms of sulfphur tidak termasuk dalam analisis ultimat.
Standar ISO 334-1975 dan ISO
351-1975 memberikan dua cara penentuan sulfur total, masing-masing cara Eschka
dan high temperature combustion.
Dalam cara
Esckha, 1 g sampel batubara halus
dicampurkan dengan 3 g reagens Eschka (2 bagian berat magnesium oksida ditambah
1 bagian berat natrium karbonat anhidrous) di dalam cawan porselen khusus atau
cawan platina, kemudian ditutup dengan 1 g reagens Eschka. Cawan dipanaskan
dalam tungku pembakaran yang biasa dipakai untuk penentuan ash, dari
mulai dalam keadaan dingin sampai suhu 800ºC selama 1 jam dengan kecepatan
pemanasan yang rendah pada permulaannya. Pada suhu 800ºC dibiarkan 1 jam lagi.
Setelah didinginkan, diitambahkan larutan barium klorida dan endapan barium
sulfat hasil reaksi ditentukan secara gravimetri.
Dalam cara kedua, yaitu cara High Temperature combustion (HTM), sekitar 0,5 g sampel batubara halus ditimbang dalam perahu
porselen,ditutupi oleh 0,5 g aluminium oksida. Perahu dipanaskan di dalam
tabung dari furnace bersama aliran gas oksigen murni pada suhu 1350 ºC. Sulfur
oksida dan klor oksida yang terbentuk diabsorbsi dalam larutan hidrogen
peroksida, kemudian asam sulfat hasil reaksi sulfur dan asam klorida hasil
reaksi klor, ditentukan secara titrimetri. Cara ini lebih cepat bila
dibandingkan dengan cara Eschka, tetapi dengan cara ini akan diperoleh
penjumlahan persentase sulfur dan klor. Untuk memperoleh persentase sulfur,
sebelum titrasi harus ditambahkan merkuri oksianida (racun).
Selain penentuan sulfur cara HTM
yang diakhiri dengan titrasi, dapat pula diakhiri dengan mendeteksi gas sulfur
dioksida menggunakan instrumen, misalnya dengan Leco sulfur determinator SC
132.
Dalam standar ASTM 3177 diberikan
cara penentuan total sulfur dari larutan hasil penentuan calorific value
yang disebut cara bomb washing. Setelah penentuan calorific value
selesai, larutan sisa diambil dan ditentukan total sulfurnya menggunakan cara
Eschka.
JObsheet
ANALISA TOTAL SULFUR
Standar ISO
351-1996 ‘Solid mineral fuels-Determination of total sulfur-High temperature
combustion method’
RuangLingkup
:
Sample batubaradipanaskanpadasuhu 1350 0C,
gas sulfur oksidahasilreaksinyadilewatkankedalamlarutanhidrogenperoksida yang
akanmengubahnyamenjadiasamsulfat yang
padaakhirnyaditentukansecaratitimetriasam-basa.
Reaksi
:
Sampel Batubara + O2
SO2 + CO2 + H2O
SO2 + H2O2
H2SO4
H2SO4
+ Na2B4O7.10 H2O
4H3BO3 + Na2SO4 + 5H2O
Alat-alatAnalisa
- FURNACE TS HTM CARBOLITE
- Tube Combustion
- Tabung oksigen dengan regulator dan flowmeter
- Cawanperahupembakaran
- Kawattahanpanas (denganpanjang 60 cm danujungnyaterdapatbengkokanuntukmengambilcawanperahudaridalamtube)
- Kawatpusherdenganstopper di ujungnya (untukmendorongperahukedaerahpanas di dalamtube)
- Baki metal
- Washing bottle (absorber)
- Pompavakumdanselang yang telahterhubungpadapompa
- Erlenmeyer 250 ml
- Gelas ukur 100 ml
- Labu ukur 1000 ml
- Pipet tetes
- Buret
- Botol semprot
- Stopwatch
- Spatula
- Neraca Analitik
- Masker hidung (sebagai pelindung/safety)
Bahan-bahan
Analisa
Bahan
Pereaksi :
·
Larutan H2O2
1 % (:dengan melarutkan ± 33 ml reagent H2O2 30 % ke
dalam 1 liter aquadest).
·
Larutan Na2B4O7 0,05
N
·
Al2O3 (serbuk)
·
Larutanindikatorcampuran :
Larutan
A : melarutkan 0,125 g Metil Merah dalam 60 ml
etanol dan mengencerkan dengan aquadest sampai 100 ml.
Larutan
B : melarutkan 0,083 g Metilen Biru ke
dalam 100 ml etanol.
Mencampurkanlarutan A dan B
denganvolume1 : 1 (sama banyak).
Larutan indikator ini hanya
bisa dipakai dalam waktu 1 minggu.
BahanSampel
:
ProsedurKerja
1.
Menaikkan suhu furnace sampai 1350 0C.
2.
Menimbang 500 mg sampel batubara dengan teliti ke dalam cawan perahu pembakaran
dan meratakannya.
3.
Menutupi sampel dengan Al2O3 sebanyak 0,5 g (sampai
tertutupi semua permukaan sampel).
4.
Memasukkan 100 ml larutan H2O2 1 % kedalamwashing bottle.
5.
Memasangkanselangpompavakumkeujungwashing
bottle, menyalakanpompavakumdanmengaturaliranvakumnya agar
konstanmelaluiabsorbernya.
6.
Memasangkanujungwashing bottle yang
sisi lain ketube combustionmelaluiselang
di stopper yang telahterpasangpadatube.
7.
Membuka aliran oksigen dan mengaturnya menjadi 300 ml per menit.
8.
Memasukkan cawan perahu yang berisi sampel dari ujung inlet tube combustion.
9.
Mendorong cawan perahu dengan kawat pusher
sampai jarak cawan perahu ke tengah-tengah daerah terpanas furnace sekitar 24 cm dan membiarkannya selama 3 menit.
10.
Menarik kembali kawat pusher agar
tidak panas dan memperkuat stopper
pada ujung kawat ke ujung tube.
11.
Setelah 3 menit, mendorong maju cawan perahu sekitar 4 cm dan membiarkan selama
1 menit. Pendorongan ini dilakukan hingga 6 kali mendorong setiap 1 menitnya.
Untuk memudahkan dalam pengerjaannya, umumnya kawat pusher ditandai dengan garis-garis yang setiap garisnya menandakan
satu dorongan dalam 1 menit.
12.
Setelah dorongan terakhir, cawan perahu harus ditengah-tengah daerah terpanas,
dan membiarkan selama 4 menit.
13. Setelah
selesai, menutup aliran oksigen dan mematikan pompa vakum.
14.
Melepaskan washing bottle dari
selang vakum dan dari selang stopper
di tube.
15.
Melepaskan kawat pusher dan stopper pada ujung tube, dan mengeluarkan cawan perahu dengan kawat tahan panas
(menampungnya dengan baki metal).
16.
Memasukkan larutan yang ada di washing
bottle ke dalam erlenmeyer 250 ml dan membilas washing bottle dengan aquades.
17.
Menambahkan 3 tetes larutan indikator campuran dan menggoncang hingga rata
sampai berwarna ungu terang.
18.
Menitrasi larutan tersebut dengan Na2B4O7 0,05
N hingga larutan berubah menjadi warna hijau terang (mencapai titik akhir
titrasi).
19. Mencatat volume akhir titrasi pada format yang tersedia untuk
analisa total sulfur.
20.
Mengerjakan penentuan blanko dengan perlakuan yang sama seperti diatas tanpa
sampel batubara.
Daftar pustaka
Edyan Nafiah jee \:D/
ReplyDeleteApakah ada belerang hitam
ReplyDelete