Tuesday, 11 October 2016

Analisa Mineral Alam “ Sulfur”



Belerang ( Sulfur )
Belerang atau sulfur adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang S dan nomor atom 16. Bentuknya adalah non metal yang tak berasa, tak berbau dan multitalent. Belerang dalam bentuk aslinya adalah sebuah zat pada kristalin kuning. Di alam belerang dapat ditemukan sebagai unsur murni atau sebagai mineral-mineral sulfit dan sulfat. Ini adalah unsur penting untuk kehidupan dann ditemukan dalam dua asam amino. Penggunaan komersilnya terutama dalam fertilizer namun juga dalam bubuk mesiu, korek apai, insektida, dan fungisida.
Belerang atau sulfur adalah mineral yang dihasilkan oleh proses vulkanisme. Sifat-sifat fisik belerang adalah :
  • Kristal belerang berwarna kuning, kuning kegelapan dan kehitam-hitaman karena pengaruh unsur pengotornya.
  • Berat jenis :2,05 – 2,09
  • Kekerasan : 1,5 – 2,5 (skala Mohs)
  • Ketahanan : getas / mudah hancur (brittle)
  • Pecahan : berbentuk konkoidal dan tidak rata
  • Gores :berwarna putih.
  • Sifat belerang lainnya adalah tidak larut dalam air atau H2SO4
  • Titik lebur 129 0C
  • Titik didihnya 446 0C.
  • Mudah larut dalam  CS2, CCl4, minyak bumi, minyak tanah dan aniline, penghantar panas dan listrik yang buruk.
  • Apabila dibakar apinya berwarna biru dan menghasilkan gas-gas SO2 yang berbau busuk.

Sifat Kimia

 Belerang  merupakan unsur  khalkogen. Keelektronegativannya lebih rendah dari keelektronegativan oksigen, senyawa ini menunjukkan derajat ion yang lebih rendah dan kenaikan  derajat kekovalenan ikatan dan akibatnya derajat ikatan hydrogennya menjadi lebih kecil. Unsur belerang mempunyai banyak alotrop seperti S2, S3, S6, S7, S8, S9, S10, S11, S12, S18, dan S… yang menecerminkan kemampuan katenasi atom belerang. Elektronegativitas atom belerang = 2.58 (skala pauling) dan jari-jari atomnya = 100 pm.

Sulfur pada Batubara
Sulfur adalah salah satu komponen dalam batubara, yang terdapat sebagai sulfur organik maupun anorganik. Umumnya komponen sulfur dalam batubara terdapat sebagai sulfur syngenetik yang erat hubungannya dengan proses fisika dan kimia selama proses penggambutan (Meyers, 1982) dan dapat juga sebagai sulfur epigenetik yang dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara akibat proses presipitasi kimia pada akhir proses pembatubaraan (Mackowsky,1968).

Sulfur walaupun secara relatif kandungannya rendah, merupakan salah satu elemen penting pada batubara yang mempengaruhi kualitas. Terdapat berbagai cara terbentuknya sulfur dalam batubara, diantaranya adalah berasal dari pengaruh lapisan pengapit yang terendapkan dalam lingkungan laut (Horne et.al,1978), pengaruh air laut selama proses pengendapan tumbuhan, proses mikrobial dan perubahan pH (Casagrandeet.al,1987).

Di lingkungan laut, pH umumnya berkisar antara 4 – 8 (netral – basa) dan cukup rendah, kecuali pada beberapa centimeter dari permukaan. Sulfat berlimpah & umumnya cukup banyak ion Fe yang hadir baik sebagai unsur terlarut dalam air laut atau penguraian dari bahan tumbuhan & mineral. Keadaan ini menyebabkan aktifitas bakteri sangat berperan untuk terbentuknya sulfur. Sedangkan lingkungan pengendapan batubara pada air tawar (lacustrine dan rawa) pH umumnya rendah. Sulfat terlarut juga rendah ( ± < 40 ppm), sehingga sulfur yang terbentuk sedikit karena aktifitas bakteri rendah. Dengan demikian jumlah sulfur yang dihasilkan tergantung pada kondisi pH, Eh, konsentrasi sulfat dan untuk pirit khususnya perlu kehadiran ion Fe dan aktivitas bakteri. Pada lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan laut akan menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi, sedangkan batubara yang terendapkan di lingkungan darat / air tawar umumnya didominasi oleh sulfur organik dengan persentase pirit yang rendah.

Dari hasil penelitian mengenai pembentukan dan keberadaan sulfur pada batubara dan gambut, Casagrande (1987) membuat beberapa kesimpulan, yaitu :
a. Secara umum batubara bersulfur rendah (<1%) mengandung lebih banyak sulfur organik daripada piritik. Sebaliknya batubara dengan kandungan sulfur tinggi mengandung lebih banyak sulfur piritik daripada organik.
b. Batubara bersulfur tinggi biasanya berasosiasi dengan batuan penutup yang berasal dari lingkungan laut.
c. Kandungan sulfur pada batubara umumnya paling tinggi pada bagian roof dan pada bagian floor lapisan batubara.

Proses paling penting dalam pembentukan unsur dan senyawa sulfur adalah reaksi reduksi sulfat oleh aktivitas bakteri. Berikut adalah skema yang menunjukkan urutan proses pembentukan sulfur dalam batubara :


Gambar III.3 Skema pembentukan sulfur dalam batubara (modifikasi dari Suits & Arthur, 2000)

Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah biasanya terendapkan pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup dan lapisan dibawahnya berupa sedimen klastik yang terendapkan pada lingkungan darat juga. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang tinggi, berasosiasi dengan sedimen yang terendapkan pada lingkungan payau atau laut (Cecilet.al,1979).

Terdapat 3 (tiga) jenis sulfur yang terdapat dalam batubara, yaitu :

1.Sulfur Piritik

Pirit (dan Markasit) merupakan mineral sulfida yang paling umum dijumpai pada batubara. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2) tetapi berbeda pada sistem kristalnya. Pirit berbentuk isometrik sedangkan Markasit berbentuk orthorombik (Taylor G.H, et.al., 1998).

Pirit (FeS2) merupakan mineral yang memberikan kontribusi besar terhadap kandungan sulfur dalam batubara, atau lebih dikenal dengan sulfur piritik (Mackowsky, 1943 dalam Organic petrology, 1998). Berdasarkan genesanya, pirit pada batubara dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :

1. Pirit Syngenetik, yaitu pirit yang terbentuk selama proses penggambutan (peatification). Pirit jenis ini biasanya berbentuk framboidal dengan butiran sangat halus dan tersebar dalam material pembentuk batubara (Demchuk, 1992 dalam international journal of coal geology, 1992).
2. Pirit Epigenetik, yaitu pirit yang terbentuk setelah proses pembatubaraan. Pirit jenis ini biasanya terendapkan dalam kekar, rekahan dan cleat pada batubara serta biasanya bersifat masif. (Mackowsky, 1968; Gluskoter, 1977; Frankie and Howe, 1987 dalam international journal of coal geology, 1992). Umumnya pirit jenis ini dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara.


Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh organisme dan air tanah yang mengandung ion besi. Bentuk pirit hasil reduksi ini biasanya framboidal dengan sumber sulfur yang tereduksi kemungkinan terdapat dalam material yang terendapkan bersama batubara. Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan frekuensi cleat / rekahan karena kation-kation yang terlarut (dalam hal ini ion Fe) akan terbawa ke dalam batubara oleh aliran air tanah melalui cleat tersebut dan selanjutnya bereaksi dengan sulfur yang telah tereduksi untuk kemudian membentuk pirit (Demchuk T.D, dalam International Journal of Coal Geology, 1992).

Pembentukan pirit epigenetik sangat dipengaruhi oleh keterdapatan sulfur primer yang telah tereduksi, ion besi dan tempat yang cocok bagi pembentukannya (Casagrande et.al,1987). Persamaan umum pembentukan pada pirit (Leventhal, 1983 and Berner, 1984 dalam Organic Petrology, 1998) adalah :

SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2CHO3 - + H2S
3H2S + 2FeO.OH - - - - - 2FeS + S + 4H2O
FeS + S0 - - - - - FeS2

Sulfat di atas umumnya berasal dari sedimen laut dangkal yang selanjutnya akan direduksi oleh senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida dengan reaksi sebagai berikut :
SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2HCO3 + H2S

Hidrogen sulfida yang terbentuk selanjutnya dioksidasi oleh goethite (FeO.OH), atau hidrogen sulfida yang terbentuk dapat mereduksi ferric iron (FeIII) menjadi ferrous iron (FeII). Oksigen seringkali mampu menembus sedimen anaerob dan mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi unsur sulfur (S0). Proses oksidasi sulfur ini dapat juga berlangsung dengan media ferric iron (FeIII).

Berikut persamaan reaksinya :

3H2S +2 FeO.OH - - - - - 2 FeS + S + 4H2O
FeS + S0 - - - - - FeS2

Selain membentuk pirit, unsur sulfur tersebut dapat juga bereaksi dengan sulfida membentuk polisulfida (SSn), yang selanjutnya mungkin akan diperlukan untuk proses pembentukan pirit. Larutan polisulfida ini dapat bereaksi dengan FeS atau Fe3S4 untuk membentuk pirit. Proses terbentuknya sulfur piritik ini sangat dipengaruhi oleh kondisi pH, yaitu semakin tinggi harga pH maka akan mempercepat reaksi karena dalam suasana basa akan banyak ion besi yang terlepaskan. Disamping itu unsur sulfur atau polisulfida juga bisa bereaksi dengan komponen organik batubara membentuk senyawa sulfur organik.

Pirit framboidal berasosiasi dengan batuan penutup yang terendapkan pada lingkungan laut sampai payau. Gambut yang mengandung sulfur tinggi (dalam bentuk pirit framboidal) terbentuk pada lingkungan pengendapan yang dipengaruhi oleh transgresi air laut atau payau, kecuali apabila terdapat dalam batuan sedimen yang cukup tebal dan terendapkan sebelum fase transgresi (Cohen A.D dalam Organic Petrology, Taylor G.H, 1998).

2.  Sulfur Organik

Sulfur organik merupakan suatu elemen pada struktur makromolekul dalam batubara yang kehadirannya secara parsial dikondisikan oleh kandungan dari elemen yang berasal dari material tumbuhan asal. Dalam kondisi geokimia dan mikrobiologis spesifik, sulfur inorganik dapat terubah menjadi sulfur organik. (Wiser W.H, 2000).

Secara umum sebagian besar sulfur dalam batubara berupa sulfur syngenetik yang keterdapatan dan distribusinya dikontrol oleh kondisi fisika dan kimia selama proses pembentukan gambut. Sulfur organik dalam batubara dapat berasal dari material kayu dan pepohonan. Disamping itu sebagian sulfur juga mungkin terjadi dari sisa-sisa organisme yang hidup selama perkembangan gambut.

Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik oleh proses penghancuran biokimia dan oksidasi. Namun secara umum, penghancuran biokimia merupakan proses yang paling penting dalam pembentukan sulfur organik, yang pembentukannya berjalan lebih lambat pada lingkungan yang basah atau jenuh air (A.C. Cook, 1982).

Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga mendominasi dalam menentukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya melimpah dalam lingkungan marin atau payau kemungkinan besar akan terubah membentuk hidrogen sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses geokimia. Reaksi yang terjadi adalah reduksi sulfat oleh material organik menjadi hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri desulfovibrio dan desulfotomaculum (Trudinger et.al, dalam Meyers, 1982).

Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan unsur atau molekul organik dari gambut menjadi sulfur organik. Unsur sulfur (S0) kemungkinan muncul dari proses oksidasi hidrogen sulfida yang terkena kontak dengan oksigen terlarut dalam kisi – kisi air, di samping itu S0 juga bisa muncul karena adanya aktivitas bakteri. Unsur sulfur (S0) dapat bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan (Meyers,1982).

Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H2S juga dapat bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. Jenis interaksi antara H2S dengan asam humik inilah yang mempunyai peranan paling penting dalam menentukan kandungan sulfur organik dalam batubara (Meyers, 1982). Disamping itu kandungan sulfur organik yang tinggi hanya akan berasosiasi dengan lingkungan rawa gambut yang minim suplai Fe (Gransh & Postuma, 1974 ; Bein et.al, 1990 ; Zaback & Pratt dalam Suits and Arthur, 2000).

3.  Sulfur Sulfat


Sulfat dalam batubara umumnya ditemui dalam bentuk sulfat besi, kalsium dan barium. Kandungan sulfat tersebut biasanya rendah sekali atau tidak ada kecuali jika batubara telah terlapukkan dan beberapa mineral pirit teroksidasi akan menjadi sulfat. (Meyers, 1982 and Kasrai et.al, 1996).

Sulfur sulfat juga dapat berasal dari reaksi garam laut atau air payau yang mengisi lapisan dasar yang jaraknya tidak jauh dan berada di atas atau di bawah lapisan batubara. Pada umumnya kandungan sulfur organik lebih tinggi pada bagian bawah lapisan, sedangkan kandungan sulfur piritik dan sulfat akan tinggi pada bagian atas dan bagian bawah lapisan batubara.

Pengaruh Sulfur
Di dalam dunia industri, pemanfaatan pokok batubara adalah untuk pembangkit listrik dan pabrik baja, keduanya menuntut batubara berkandungan sulfur rendah. Pada kontrak jual-beli batubara (pemasaran) kandungan sulfur merupakan salah satu persyaratan pokok dan mempengaruhi harga.
Batubara bersulfur tinggi juga menimbulkan masalah teknis dan lingkungan. Pada proses pembakaran (power plant), sulfur dikonversi ke oksida dan dapat menimbulkan pengkaratan atau korosi kuat pada peralatan atau komponen logam. Batubara bersulfur tinggi dapat menimbulkan masalah lingkungan, baik di lokasi tambang, sepanjang jalur pengangkutan batubara, penumpukan, hingga di lokasi pemanfaatan. Pada lokasi-lokasi tersebut, selain menimbulkan polusi udara,  juga dapat menghasilkan aliran air bersifat asam, sedangkan pembakaran batubara dapat menghasilkan gas SOx yang mengganggu atmosfer.
Disisi lain, kenyataan di lapangan sebaran kandungan sulfur pada lapisan batubara dapat sangat bervariasu dan berubah-ubah nilainya, baik secara vertical maupun  lateral, bahkan pada jarak yang dekat sekalipun. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh proses-proses geologi yang berlangsung bersamaan maupun setelah pembentukan lapisan batubara. Oleh karena itu, data kandungan sulfur pada batubara merupakan hal yang penting untuk diketahui secara lebih baik karena berkaitan dengan aspek pemanfaatan, lingkungan pemasaran, perencana, dan operasi penambangan, serta aspek geologi.

Energi batubara merupakan jenis energi yang sarat dengan masalah lingkungan, terutama kandungan sulfur sebagai polutan utama. Sulfur batubara juga dapat menyebabkan kenaikan suhu global serta gangguan pernafasan. Oksida belerang merupakan hasil pembakaran batubara juga menyebabkan perubahan aroma masakan / minuman yang dimasak atau dibakar dengan batubara (briket), sehingga menyebabkan menurunnya kualitas makanan atau minuman, serta berbahaya bagi kesehatan (pernafasan). Cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mewujudkan gagasan clean coal combustion melalui desulfurisasi batubara.
Pengambilan Sampel (Sampling)
Tujuan utama dari pengambilan sampel ialah untuk mengambil sebagian kecil material yang akan mewakili sifat-sifat keseluruhan material tersebut. Syarat utama adalah sampel itu harus mewakili (respresentatif) bahan yang di sampling.
Pengambilan sampel batubara harus dilakukan menurut standar yang telah ditentukan. Karena banyaknya standar batu bara yang ada, pemilihan akan bergantung pada persetujuan antara pembeli dan penjual.

Pengambilan Sampel Batubara Eksplorasi
Menurut keadaan batubara, yakni batubara yang masih ada di dalam perut bumi batubara yang telah ditambang, dan batubara yang telah ditumpuk berupa stockpile, maka cara-cara pengambilan sampel dapat dibagi menjadi pengambilan sampel batubara eksplorasi dan pengembangan, serta pengambilan sampel batubara produksi.
Dari sekian banyak cara pengambilan sampel batubara eksplorasi , hanya dua cara yang akan dibahas yaitu pengambilan sampel inti bor (core sampling) dan channel sampling.
a)      Pengambilan sample inti bor.
Ketika dilakukan eksplorasi, pengambilan sampel inti bor dari lapisan batubara dilakukan dengan cara pengeboran. Batubara dengan rank rendah mudah sekali teroksidasi, bahkan batubara bitumen yang mengandung volatile matter rendah dapat terpengaruh apabila dibiarkan terbuka dalam kotak sampel. Pengambilan sampel ini dibagi-bagi berdasarkan ply-by-ply dan berdasarkan probable working section.
b)      Channel sampling
Jumlah channel sampel relative banyak, mewakili keseluruhan lapisan batubara pada titik lokasi dimana sampel diambil. Channel sampel dapat diambil baik secara manual maupun mekanis menggunakan peralatan penambangan. Suatu channel sampel diambil dengan mengerat channel vertical dari cross-section mulai dari atas ke bawah setinggi lapisan, yakni dari roof sampai floor.

Pengambilan Sampel Batubara Produksi
            Tahapan pengambilan sampel batubara produksi terbagi menjadi dua, yakni:
(1)   Skema pengambilan sampel yang merujuk pada berapa banyak satu lot dapat dibagi menjadi sampling unit dan berapa banyak increment harus diambil untuk setiap sampling unitnya sehingga dicapai presisi yang diinginkan.
(2)   Sistem pengambilan sampel merupakan implementasi dari pengambilan sampel, apakah akan dilakukan secara manual atau mekanis.

Jumlah atau banyaknya increment yang diambil dari satu lot agar dicapai suatu presisi tertentu merupakan fungsi dari bervariasinya kualitas batubara didalam lot tersebut, tanpa memandang dari berat lot. Lot-lot harus dibagi menjadi beberapa sampling unit dengan jumlah yang memadai.
Banyaknya increment yang harus diambil dan cara-cara menggabungkan increment sehingga terbentuk sampel atau subsampel, akan ditentukan oleh presisi yang diperlukan untuk menetapkan karateristik kualitas dari lot dan oleh bevariasinya batubara yang akan diuji. Sebelum kita menetapkan besarnya presisi, perlu dilakukan perundingan antara pihak-pihak terkait terlebih dulu (pembeli, penjual, dan cargo superintendent company).
Presisi yang dianjurkan oleh standar ASTM adalah ± 1/10 kali kandungan ash (kering) untuk general purpose sampling batubara yang telah diketahui ukuran butirannya (partikel) dan keadaan preparasinya (masih kasar atau telah dicuci). Untuk batubara kasar berukuran top size 50 mm, jumlah minimal increment untuk lot 1000 ton adalah 35, sedangkan untuk batubara yang telah mengalami pencucian jumlah itu lebih kecil lagi, yakni 15.
Untuk lot yang lebih besar dari 1000 ton dan hanya diperlukan satu gross sample digunakan rumus:
Dimana: N1 = jumlah increment
               N2 = jumlah increment yang diperlukan
Dalam standar ASTM D 2234 (dan dalam BS 1017) dinyatakan bahwa berat maksimal lot yang dapat menggunakan rumus diatas adalah 10000 ton.
Jadi, untuk batubara kasar dengan lot sebesar 4000 ton dapat dilakukan dua cara:
1)      Dibagi menjadi 4 sampling unit dengan jumlah increment 4 x 35 atau 140 dan akan menghasilkan 4 buah gross sampel yang kemudian dibuat satu composite sampel.
2)      Bila hanya diperlukan satu gross sampel dengan menggunakan rumus diatas akan menghasilkan 70 increment. Jumlah increment untuk karateristik sampel yang akan ditentukan oleh besarnya presisi yang diinginkan.
Untuk lot 24000 ton dapat dibagi menjadi 3 sampling unit, masing-masing dua sampling unit 10000 ton dan satu sampling unit 4000 ton, atau menjadi tiga sampling unit masing-masing 8000 ton dan seterusnya.

Table.2.2 Jumlah dan berat increment dalam prosedur general purpose sampling  untuk cargo 1000 ton ke bawah.

Top size
16 mm
50 mm
150 mm
Batubara yang telah bersih
Jumlah minimal increment
15
15
15
Berat minimal satu increment
1 kg
3 kg
7 kg
Batubara yang masih kasar
Jumlah minimal increment
35
35
35
Berat minimal satu increment
1 kg
3 kg
7         kg

( Muchjidin, Pengendalian Mutu Dalam Industri Batubara, 2006)
Pengambilan Sampel Batubara Stockpile
Dari pengambilan sampel batubara  suatu stockpile, umumnya sangat sulit diperoleh sampel yang representative, dan tiap pengambilan sampel harus dikerjakan sesuai dengan kondisinya masing-masing. Suatu sampel yang diambil hanya dari bagian atas atau sisi stockpile saja tidak dapat dipandang sebagai wakil dari seluruh stockpile , terutama untuk  stockpile yang terdiri atas beberapa sumber batubara.
Menurut standar ASTM penuntun pengambilan gross sampel dari permukaan batubara terbuka dari stockpile, kemudian sampel-sampel ini diporoses dan dikirimkan ke laboratorium untuk dianalisis. Prosedur pengerjaannya adalah sebagai berikut:
  • Ukuran lot. Pembagian lot dari stockpile yang akan diambil sampelnya harus ditentukan dan disetujui oleh semua badan terkait.
  • Increment. Berat satu increment akan bergantung pada ukuran partikel. Untuk batubara berukuran top size 15 mm minimal beratnya 1 kg, 50 mm berat minimal 3 kg, dan berukuran top size 150 mm berat minimal 7 kg. banyaknya increment untuk lot dibawah 1000 ton adalah 35 increment dan untuk lot lebih dari 1000 ton menggunakan perumusan 35.
  • Pengumpulan increment. Increment diambil dari suatu lubang pada permukaan stockpile sedalam 46 cm. Batubara yang telah  diambil dari lubang harus ditempatkan jauh dari daerah pengambilan sampel. Kemudian increment diambil dari bagian bawah lubang dan dimasukkan ke dalam container (misalnya ke dalam kantong plastic, disegel, diberi nomor, dan dimasukkan ke dalam drum). Pola tempat pengambilan increment akan bergantung pada tinggi dan kemiringan stockpile. Atur jarak pengambilan increment ini pada permukaan stockpile, sehingga tiap increment mewakili daerah dengan ukuran yang sama.

Preparasi Sampel
Proses preparasi sampel terdiri atas empat tahapan kerja antara lain :
1.   Pengeringan, jika sampel masih basah dan susah untuk di gerus.
2.   Memperkecil ukuran partikel, dengan cara milling (crushing dan grinding) yang disebut sebagai reduction.
3.   Mencampurkan (mixing) agar sampel menjadi homogen.
4.   Mengurangi berat sampel dengan cara membaginya menjadi dua bagian atau lebih yang disebut divison.
Tabel 2.3. Berat sampel analitik yang diperlukan untuk parameter tertentu

Parameter
Top size (mm)
Berat sample duplikat
ASTM
ISO
Free Moisture
Residual Moistuer
Hardgrove Grind. Index
General Analysis
Moisture (adb)
Ash Content
Volatile Matter
Total Sulfur
Calorivic Value
Suhu Leleh Ash
Analisis Ash
Fosfor
Arsen
Flour
Klor
50
3
4.75
0,25/0,2 *)
10 kg
20 kg
1 kg

2 g
2 g
2 g
2 g
2 g
4 g
20 g **)
2 g
2 g
2 g
1 g
10 kg
20 kg
1 kg

2 g
2 g
2 g
2 g
2 g
4 g
20 g **)
2 g
2 g
2 g
1 g

( Muchjidin, Pengendalian Mutu Dalam Industri Batubara, 2006)
*) -250 µm (0,25 mm) untuk standar ASTM dan -200 µm (0,20 mm) untuk standar ISO
**) untuk batubara dengan ash content 10 %

Table 2.4.  Berat dan ukuran butir untuk penetuan khusus (diambil dari Standar Australia AS 4264.1-1995)

Uji
Standar referensi
Massa yang dibutuhkan
Ukuran partikel
Analisis ayak
AS 3881
Massa yang dibutuhkan ditentukan oleh nominal top size
Sebelum pengujian tidak ada pengecilan ukuran
Float-and –sink testing
AS 4156.1
Massa yang dibutuhkan ditentukan oleh nominal top size
Sebelum pengujian tidak ada pengecilan ukuran
Indeks abrasi
AS 1038.19
10 kg
Melewati 16,0 mm
Indeks Hardgrove
AS 1038.20
1 kg
Nominal top size 4,0 mm
Uji Gleserer plastometer
AS 2137
1 kg
Melewati 4,0 mm
Total Moisture
Metode A
Metode B
AS 1038.1
300 g
Nominal top size 4,0 mm
Total Moisture
Metode C
AS 1038.1
4 kg
Nominal top size 11,2
Uji pilot coke oven
AS 2267
Ditentukan oleh ukuran pilot coke oven
Direferensikan untuk tes laboratorium
Analisis petrografik
AS 2061
200 g
Nominal top size 1,0
Dilatometer
AS 1038.12.3
1 kg
Top size 4,0 mm

( Muchjidin, Pengendalian Mutu Dalam Industri Batubara, 2006)
1) Pengeringan Udara
Pengeringan udara atau air driying kadang-kadang diperlukan dalam tahapan kerja preparasi sampel. Faktor yang menentukan diperlukan atau tidaknya pengeringan udara adalah apakah batubara akan melalui peralatan pembagi sampel atau melalui penggerus. Jika sampel langsung akan dibagi melalui peralatan pembagi, maka sampel tersebut tidak perlu dikeringkan dulu.
Pengeringan sampai berat yang konstan serta suhu yang terus ditinggikan itu tidak perlu untuk General Analysis, karena hal ini dapat berakibat terjadinya oksidasi pada batubara rank rendah. Pengeringan dapat dilakukan di dalam oven atau Drying Set suhu 10°C di atas suhu kamar. Aturan pengeringan dalam standard ISO, ASTM, British Standard, dan AS.


Tabel. 2.5 Lamanya waktu pengeringan menurut ASTM, ISO, BS, dan AS


Suhu  °C
Waktu pengeringan
ISO1988
ASTM D2013
BS 1017; part 1
AS 2646.6
15° diatas suhu ruangan tapi tidak > 25°C
Lebih baik tidak > 24 jam

24 jam

25°C




30°C
6 jam

6 jam
≤ 24 jam
40°C



≤ 6 jam
45°C
3 jam

3 jam
≤ 3 jam
105°C
(hanya untuk high rank coal)
1 Jam



10°C- 15°C diatas suhu ruangan, tapi tidak > 40°C, kecuali suhu ruangan > 40°C


Sampai konstant



( Muchjidin, Pengendalian Mutu Dalam Industri Batubara, 2006)
2) Memperkecil ukuran butir
Dalam ISO R-1213 diberikan definisi beberapa cara memperkecil ukuran partikel ini:
1.      to mill ; memparkecil ukuran partikel dengan cara crushing, grinding, atau pulverizing.
2.      to crush (meremukkan) ; memperkecil ukuran partikel sampel sampai ukuran partikel kasar (>3 mm).
3.      to grind, to pulverized (menggerus, melumatkan) ; memperkecil ukuran partikel sampel sampai ukuran partikel halus (<1.5 mm).
Beberapa aturan dalam cara memperkecil ukuran partikel antara lain:
1)      Permukaan harus dilakukan secara mekanis
2)      Tidak diperbolehkan mengayak material yang tertahan ayakan (oversize). Misalnya jika akan meremukkan material sampai melalui 10 mm maka tidak boleh hanya mengayak yang -10mm-nya saja dan kemudian hanya meremukkan material +10 mm-nya saja. Alasannya, karena antara batubara halus dan kasar ada perbedaan sifat petrografi, fisika, dan kimia, serta dalam langkah pencampuran yang perlu menghomogenkan kembali sampel akan sukar untuk dilakukan.
3)      Semua penggerus dalam preparasi sampel tidak boleh menghasilkan material yang tertahan ayakan lebih dari 1%. Penggerus-penggerus itu, termasuk Raymond mill, harus dicek secara teratur pada waktu-waktu tertentu untuk meyakinkan bahwa 99% hasil gerusan melalui ayakan.
4)      Semua penggerus harus selalu bersih. Misalnya pada pemakaian hammer mill yang selalu menahan batubara setelah penggerusan, sehingga pada penggerusan selanjutnya dapat mengotori sampel yang akan digerus.
5)      Memperkecil ukuran dengan tangan tidak diperbolehkan, kecuali untuk batu bara lempengan.
Peralatan untuk memperkecil ukuran dalam standar ISO harus yang bekerja secara mekanis, mesin demikian disebut mill. Yang lebih disukai adalah high speed mill.
Peralatan tersebut bermacam-macam jenisnya, mulai dari jaw crusher sampai roll crusher dan dari mill sampai high speed impact pulveriser yang khusus diperuntukkan menggerus sampel sampai berukuran -0,2 mm.

3) Pencampuran
Persyaratan peralatan pencampur adalah tidak diperbolehkan 1) memecahkan batu bara, 2) menghasilkan debu, 3) membiarkan moisture menguap.
4) Pembagian sampel
Bila preparasi sampel dimulai dengan memperkecil ukuran menjadi ukuran pertengahan dan pada langkah kedua diperkecil lagi menjadi ukuran akhir, yakni -200µm, maka cara ini disebut two-stage preparation. Ukuran pertengahan umumnya 10 mm atau 3 mm. Setiap pembagian dalam two-stage preparation harus mempunyai berat minimal:
                        10 mm = 10 kg
                        3 mm   = 2 kg
                        1 mm   = 0,6 kg
Apabila ukuran asal dari batubara adalah 120 mm atau lebih besar lagi, maka cara preparasinya adalah theree-stage preparation yang mempunyai dua ukuran pertengahan. Dalam cara ini berat minimal untuk pembagian tersebut adalah:
                        10 mm = 15 kg
                        3 mm   = 3 kg
                        1 mm   = 1 kg

Peralatan Preparasi Sampel
a)   Pengering
Untuk mengeringkan sampel batu bara dapat dipakai lantai pengering-udara (air-drying floor) atau oven pengering (air-drying oven).
·         Lantai pengering-udara. Suatu lantai yang rata dan halus serta bersih yang terletak di dalam ruangan bebas kontaminasi debu atau material lainnya. Ruangan tersebut mempunyai sirkulasi udara yang baik tanpa panas yang berlebihan atau aliran udara yang berlebihan. Kondisi lantai pengeringan-udara sedapat mungkin harus mendekati kondisi yang disyaratkan untuk oven pengering-udara.
·         Oven pengering udara. Suatu alat yang digunakan untuk mengalirkan udara yang yang sedikit panas pada sampel. Oven harus dapat menjaga suhunya antara 10ºC-15ºC di atas suhu kamar. Suhu maksimal oven adalah 40 ºC. Untuk batubara yang mudah sekali teroksidasi, suhu oven tidak boleh melebihi 10ºC diatas suhu kamar.

b)   Penggerus
Beberapa jenis alat penggerus antara lain adalah :
·         Crusher. Ada dua jenis crusher yaitu; hummer mill yang fungsinya untuk memecahkan sampel secara pukulan atau benturan, jaw crusher  yang fungsinya untuk memecahkan sampel secara menekan, contohnya roll crusher dan jaw crusher.
·         Hummer mill. Memiliki keuntungan :reduction ratio tinggi, dapat memperkecil batubara lempengan (150 mm) dan mempunyai hasil penggerusan tinggi, harganya murah, serta tidak terlalu makan banyak ruang. Kerugiannya adalah mempunyai angin yang  deras sehingga dapat berpengaruh terhadap sampel Moisture, menghasilkan fines yang banyak dan tidak dapat dipakai pada batubara basah.


·         Double Roll Crusher. Keuntungan dari double roll crusher antara lain tidak menimbulkan panas dan angin, tidak menghasilkan fines yang berlebihan dan mudah menangani batubara basah.

·         Jaw Crusher. Alat ini cocok untuk meremukkan batubara keras dan  kering. Untuk memperoleh hasil yang halus susah sekali. Kerugian utamanya adalah kapasitas rendah (kecuali lempengannya besar) dan tidak dapat mengerjakan batubara basah.
c)      Pencampur
Ada beberapa jenis alat yang memadaiyaitu paddle mixer, drum mixer, dan double cone mixer (untuk batubara berukuran 1.0-0.2 mm).
Yang dioperasikan secara manual adalah riffle.

d)     Pembagi
Pembagian sampel dapat dilakukan baik secara manual maupun mekanis. Jika pembagian akan dilakukan secara manual tetapi tidak menggunakan riffle, dapat dilakukan dengan cara yang disebut sebagai cara coning and quartering. Prinsipnya ialah batu bara dibentuk seperti gunung (timbunan mirip kerucut pendek), ditekan sampai rata dan kemudian dibagi menjadi 4 bagian yang sama. Dua bagian yang berlawanan disatukan untuk kemudian dibagi empat lagi, begitu seterusnya sampai diperoleh berat yang diinginkan. Dua bagian lainnya dibuang.
Umumnya cara ini dipakai untuk membagi sampel apabila tidak tersedia riffle di lapangan.

·         Riffle digunakan untuk membagi sampel menjadi dua bagian sama banyak, kemudian membagi setengahnya lagi dan demikian seterusnya hingga diperoleh berat yang diinginkan (sama dengan cara kerja coning and quartering).
o   Peralatan pembagi sampel yang bekerja secara mekanis antara lain rotary sampledivider (RSD) dan slotted belt. Keuntungan alat pembagi sampel mekanis ialah reduction ratio dapat divariasikan, dan tidak perlu membagi sampel sampai setengahnya secara berurutan. Setelah dibagi, sampel dapat diperoleh dengan mengambil increment kecil yang banyak (diperlukan minimal 50 increment). Jadi, menghindarkan tahap pencampuran.
·         Rotary Sample Divider. Alat ini terdiri atas sejumlah continer misalnya 12 atau 8 yang dibentuk seperti segmen-segmen pada pelat berputar sekitar 60 rpm. Ukuran minimal lubang pintu harus tiga kali ukuran terbesar partikel batubara. Jadi, sejumlah increment akan terpisah pada setiap putarannya, terbagi merata ke settiap kontainer. Jika ada 8 segmen, satu kontainer akan mengandung fraksi seperdelapan dari jumlah batu bara yang masuk ke RSD, sehingga kita dapat mengambil fraksi 1/8, ¼ atau ½.
·         Slotted belt. Suatu belt conveyor yang tidak berakhir mempunyai slot dengan ruang pitch-nya diperalati oleh alat berbentuk bibir yang bertindak sebagai pagar pemotong.

Analisa Sulfur
Dalam analisis ultimat ditentukan total sulfur (TS) yang mewakili semua  bentuk sulfur dalam batubara. Penentuan masing-masing bentuk sulfur atau forms of sulfphur tidak termasuk dalam analisis ultimat.
Standar ISO 334-1975 dan ISO 351-1975 memberikan dua cara penentuan sulfur total, masing-masing cara Eschka dan high temperature combustion.
Dalam cara Esckha, 1 g sampel batubara halus dicampurkan dengan 3 g reagens Eschka (2 bagian berat magnesium oksida ditambah 1 bagian berat natrium karbonat anhidrous) di dalam cawan porselen khusus atau cawan platina, kemudian ditutup dengan 1 g reagens Eschka. Cawan dipanaskan dalam tungku pembakaran yang biasa dipakai untuk penentuan ash, dari mulai dalam keadaan dingin sampai suhu 800ºC selama 1 jam dengan kecepatan pemanasan yang rendah pada permulaannya. Pada suhu 800ºC dibiarkan 1 jam lagi. Setelah didinginkan, diitambahkan larutan barium klorida dan endapan barium sulfat hasil reaksi ditentukan secara gravimetri.
Dalam cara kedua, yaitu cara High Temperature  combustion (HTM), sekitar 0,5 g sampel batubara halus ditimbang dalam perahu porselen,ditutupi oleh 0,5 g aluminium oksida. Perahu dipanaskan di dalam tabung dari furnace bersama aliran gas oksigen murni pada suhu 1350 ºC. Sulfur oksida dan klor oksida yang terbentuk diabsorbsi dalam larutan hidrogen peroksida, kemudian asam sulfat hasil reaksi sulfur dan asam klorida hasil reaksi klor, ditentukan secara titrimetri. Cara ini lebih cepat bila dibandingkan dengan cara Eschka, tetapi dengan cara ini akan diperoleh penjumlahan persentase sulfur dan klor. Untuk memperoleh persentase sulfur, sebelum titrasi harus ditambahkan merkuri oksianida (racun).
Selain penentuan sulfur cara HTM yang diakhiri dengan titrasi, dapat pula diakhiri dengan mendeteksi gas sulfur dioksida menggunakan instrumen, misalnya dengan Leco sulfur determinator SC 132.

Dalam standar ASTM 3177 diberikan cara penentuan total sulfur dari larutan hasil penentuan calorific value yang disebut cara bomb washing. Setelah penentuan calorific value selesai, larutan sisa diambil dan ditentukan total sulfurnya menggunakan cara Eschka.


JObsheet
ANALISA TOTAL SULFUR

Standar ISO 351-1996 ‘Solid mineral fuels-Determination of total sulfur-High temperature combustion method’
RuangLingkup :
Sample batubaradipanaskanpadasuhu 1350 0C, gas sulfur oksidahasilreaksinyadilewatkankedalamlarutanhidrogenperoksida yang akanmengubahnyamenjadiasamsulfat yang padaakhirnyaditentukansecaratitimetriasam-basa.

Reaksi             :
Sampel Batubara + O2                                    SO2 + CO2 + H2O
SO2 + H2O2                                           H2SO4
H2SO4 + Na2B4O7.10 H2O                     4H3BO3 + Na2SO4 + 5H2O

Alat-alatAnalisa
  • FURNACE TS HTM CARBOLITE
  • Tube Combustion
  • Tabung oksigen dengan regulator dan flowmeter
  • Cawanperahupembakaran
  • Kawattahanpanas (denganpanjang 60 cm danujungnyaterdapatbengkokanuntukmengambilcawanperahudaridalamtube)
  • Kawatpusherdenganstopper di ujungnya (untukmendorongperahukedaerahpanas di dalamtube)
  • Baki metal
  • Washing bottle (absorber)
  • Pompavakumdanselang yang telahterhubungpadapompa
  • Erlenmeyer 250 ml
  • Gelas ukur 100 ml
  • Labu ukur 1000 ml
  • Pipet tetes
  • Buret
  • Botol semprot
  • Stopwatch
  • Spatula
  • Neraca Analitik
  • Masker hidung (sebagai pelindung/safety)

 Bahan-bahan Analisa
 Bahan Pereaksi :
·         Larutan H2O2 1 % (:dengan melarutkan ± 33 ml reagent H2O2 30 % ke dalam 1 liter aquadest).
·         Larutan Na2B4O7 0,05 N
·         Al2O3 (serbuk)
·         Larutanindikatorcampuran :
                     Larutan A :  melarutkan 0,125 g Metil Merah dalam 60 ml etanol dan mengencerkan dengan aquadest sampai 100 ml.
                     Larutan B :   melarutkan 0,083 g Metilen Biru ke dalam 100 ml etanol.

                     Mencampurkanlarutan A dan B denganvolume1 : 1 (sama banyak).
                     Larutan indikator ini hanya bisa dipakai dalam waktu 1 minggu.

 BahanSampel :
        Batubara denganukuran 0,212 mm

 ProsedurKerja
1.      Menaikkan suhu furnace sampai 1350 0C.
2.      Menimbang 500 mg sampel batubara dengan teliti ke dalam cawan perahu pembakaran dan meratakannya.
3.      Menutupi sampel dengan Al2O3 sebanyak 0,5 g (sampai tertutupi semua permukaan sampel).
4.      Memasukkan 100 ml larutan H2O2 1 % kedalamwashing bottle.
5.      Memasangkanselangpompavakumkeujungwashing bottle, menyalakanpompavakumdanmengaturaliranvakumnya agar konstanmelaluiabsorbernya.
6.      Memasangkanujungwashing bottle yang sisi lain  ketube combustionmelaluiselang di stopper yang telahterpasangpadatube.
7.      Membuka aliran oksigen dan mengaturnya menjadi 300 ml per menit.
8.      Memasukkan cawan perahu yang berisi sampel dari ujung inlet tube combustion.
9.      Mendorong cawan perahu dengan kawat pusher sampai jarak cawan perahu ke tengah-tengah daerah terpanas furnace sekitar 24 cm dan membiarkannya selama 3 menit.
10.  Menarik kembali kawat pusher agar tidak panas dan memperkuat stopper pada ujung kawat ke ujung tube.
11.  Setelah 3 menit, mendorong maju cawan perahu sekitar 4 cm dan membiarkan selama 1 menit. Pendorongan ini dilakukan hingga 6 kali mendorong setiap 1 menitnya. Untuk memudahkan dalam pengerjaannya, umumnya kawat pusher ditandai dengan garis-garis yang setiap garisnya menandakan satu dorongan dalam 1 menit.
12.  Setelah dorongan terakhir, cawan perahu harus ditengah-tengah daerah terpanas, dan membiarkan selama 4 menit.
13.  Setelah selesai, menutup aliran oksigen dan mematikan pompa vakum.
14.  Melepaskan  washing bottle dari selang vakum dan dari selang stopper di tube.
15.  Melepaskan kawat pusher dan stopper pada ujung tube, dan mengeluarkan cawan perahu dengan kawat tahan panas (menampungnya dengan baki metal).
16.  Memasukkan larutan yang ada di washing bottle ke dalam erlenmeyer 250 ml dan membilas washing bottle dengan aquades.
17.  Menambahkan 3 tetes larutan indikator campuran dan menggoncang hingga rata sampai berwarna ungu terang.
18.  Menitrasi larutan tersebut dengan Na2B4O7 0,05 N hingga larutan berubah menjadi warna hijau terang (mencapai titik akhir titrasi).
19.  Mencatat volume akhir titrasi pada format yang tersedia untuk analisa total sulfur.
20.  Mengerjakan penentuan blanko dengan perlakuan yang sama seperti diatas tanpa sampel batubara.








Daftar pustaka


2 comments: